Halaman

Kamis, 22 Maret 2012

Baca Baca Dikit

Di angkat dari cerpen temen yang spertinya kisah nyata tapi sedikit di rekayasa.
 hehehe


Seperti biasanya, aku bangun kesiangan lagi, entah apa yang merasuki diriku sampai – sampai aku tak bisa bangun lebih pagi. Sudah kucoba berbagai macam cara agar aku  bisa bangun lebih pagi, tapi semua cara itu sia – sia.
“Hari ini sarapan apa?” tanyaku pada ibu yang sedang berada di dapur, setelah aku selesai mandi dan sudah siap berangkat ke sekolah.
“ Kamu maunya sarapan apa?”
“Lho? Belum ada apa – apa di meja makan?”
“Belum.”
“Nggak usah sarapan aja deh, waktunya mepet, dah ibuuuuu.”
“Kamu masih punya uang kan???” tanya ibuku setengah berteriak saat aku sudah berjalan pergi menuju keluar rumah.
“Iyaaaaaaaaaaaa,” jawabku sambil berteriak karena aku sudah sampai pintu pagar.
------------------------------------------
Inilah aku, Charlotta, biasa dipanggil Lotta atau Tata, kayak nama permen karet sih, tapi aku tetep bangga dengan namaku ini. Aku bersekolah di SMA terkemuka di ibukota Jawa Tengah. Yap, betul sekali, Semarang. Aku anak baru, maksudnya bukan murid pindahan lho, tapi masih kelas X. Aku punya sahabat, namanya Tya. Orangnya asyik abis! Seharian sama dia, aku nggak bakal berhenti tertawa :D
Aku punya gebetan, dia orangnya baik banget, perhatian juga, sayangnya dia sudah suka sama orang lain, namanya Lidya :’( Dia deket sama aku sih, tapi dia nggak tahu kalau aku menyimpan rasa sama dia. Aku jatuh cinta sama dia pada pandangan pertama, mungkin kebanyakan orang nggak percaya tentang jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi aku PERCAYA!
Kalau aku ketemu dia, dia selalu cerita tentang orang yang disukainya, panas sih, tapi ya sebagai teman yang baik, aku selalu mendengarkan uneg – uneg dia. Oya, lupa! Nama cowok itu Kevin.
Akhir – akhir ini dia berhasil bikin aku galau sampai nangis ngesot – ngesot, nggak juga sih hehe, ya pokoknya aku galau abis gara – gara dia. Bayangin aja, beberapa hari yang lalu dia bilang sama aku kalau dia mau nembak cewek gebetannya itu. Setelah hari itu kerjaanku di sekolah cuma murung, dan dengan lugunya, dia nggak sadar! Dia dengan santai, selalu aja cerita tenang cewek itu, lagi dan lagi. Dan aku selalu menggumam dalam hati ‘sadar dong! Nyesek nih kamu ngomong gitu ke aku!’
-------------------------------------------------------
“Duh, aku nervous nih, Ta. Kalau dia nolak aku gimana?”
Deg! Aku lupa kalau hari ini emang rencananya buat hari penembakan atau kalau aku bilang adalah kejadian yang bisa membunuhku secara perlahan.
“Nyantai aja kali, Vin. Yakin seyakin – yakinnya dia nggak akan nolak kamu deh. Aku kan juga udah deketin kamu sama dia kan?”
“Beneran nih, Ta??? Tapi aku kok tetep nggak yakin yah? Eh iya, kok mata kamu sembab gitu sih?? Hayooo, abis nangisin siapa???
“Ah, masak sih?? Nggak kok, biasa aja.”
Padahal sejujurnya dalam hati, aku sedang mengalami tekanan batin ‘yang bikin aku nangis itu kamu tauuuuuuukkkk!’ tapi kalimat itu tersangkut di tenggorokan dan nggak bisa kukeluarkan.
“Iya kok. Tapi yaudahlah kalau kamu nggak mau cerita, aku nemuin Lidya dulu yaaahhh, dadah. Jangan lupa doain aku!”
“Siaaaaappppppppp!!!”
Setelah percakapan singkat siang itu, aku selalu berdoa ‘semoga ditolak. Amin.’
------------------------------------------------------------------------------
Aku hampir nggak masuk sekolah karena takut diejek teman – temanku yang lain, kenapa aku takut? Mataku sembab abis! Pokoknya nggak enak dilihat deh, tapi karena hari ini ada ulangan 3, aku terpaksa masuk. Penyebabnya siapa lagi kalau bukan Kevin?? Yap, dia diterima! Dan sekarang resmi menjadi cowoknya Lidya, sebetulnya aku nggak berhak untuk marah, karena aku yang mendekatkan atau istilahnya nyomblangin mereka, karena aku nggak tega nglihat Kevin yang hampir setiap hari minta tolong sama aku  buat deketin dia sama Lidya, aku kenal Lidya karena dia teman ekskul.
Aku selalu mencoba buat nglupain Kevin, tapi nggak bisa! Bayangin aja, hampir tiap hari aku selalu nglihatin mereka jalan berdua. Aaaaaaaaaaaaaaa!!!!!
“Ta, bisa tolong anterin aku ke toko bunga nggak??” tanya Kevin tiba – tiba.
“Bisa aja sih, kapan? Hari ini? Buat apa?”
“Buat Lidya, hari ini dia ulang tahun.”
“Oh.” Jawabku sekenanya. Padahal dalam hati sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttt.
-----------------------------------------------------------------
“Dia suka bunga apa ya? Mawar merah atau putih?”
“Kok tanya aku sih? Kamu pacarnya kan?? Mestinya tahu dong,” jawabku jutek.
“Eh??? Kok marah gitu sih??”
“Bukan urusanmu.”
“Maaf maaf.”
“Hem.”
“Lhooo??? Kok nggak niat gitu sih maafinnya???”
“Cepetan beli bunganyaaaaaa!!!! Ambil aja yang pas buat Lidya sama dompetmu! Kalau nggak aku tinggal pulaaaaaaaaannnnngggggg!!!!
“Eh, iya iya.”

Berbulan – bulan setelah kejadian itu, aku udah nggak sedekat dulu dengan Kevin. Susah awalnya, tapi sekarang udah mulai biasa, ya walaupun seratus persen hatiku tetep cuma buat dia.
“Ta, aku putus!” kata Kevin membangunkanku dari lamunan.
“Eh, eh kenapaaa??”
“Ternyata aku cuma mainan buat dia!”
“Hah?? Maksudnya??? Cerita ceritaaaa.”
“Dia  lagi jalan berdua sama siapa itu namanya, si kapten basket SMA kita itu lhooo.”
“Hah? Masak? Setahuku, dia kalau pacaran itu awet kok, maksudnya ya nggak selingkuh gitu deh.”
“Kan setahumu tho? Buktinya?? Nggak kan???”
“Tapi kaaaannn...”
“Nyebelin abis!”
“Sabar yah.”
“Iya.”
----------------------------------------------
Sekarang aku bisa kebih deket lagi sama Kevin, soalnya dia sudah nggak ada yang punya, dan kita bisa lebih sering jalan berdua. Dia tetep nganggep aku temen, dan nggak lebih dari itu.
Tiba – tiba, waktu di sekolah, Kevin menghampiri tempat dudukku.
“Ta, nanti malem ada waktu nggak?”
“Hah? Mau ngapain? Bentar, aku inget – inget dulu, kayaknya nggak ada deh.”
“Aku ke rumahmu ya.”
“Boleh aja sih, jam berapa?”
“Jam 7.”
“Oke. Siaaaaaappp.”
---------------------------------------------------
Malem itu langit sepi, nggak ada satu bintangpun yang bersinar, bulanpun enggan menampakkan diri. Dan aku di sini, bersama Kevin, duduk bedua di teras rumah, apa saja yang bisa kita bicarakan pasti jadi bahan pembicaraan, hingga tiba – tiba...
“Ta, lihat deh, langit kosong.”
“Iya, nih. Kok nggak ada bulan atau bintang yah?”
“Aku juga nggak tahu. Hem, Ta, kamu dulu pernah bilang kalau kamu suka bintang kan?”
“Iya, dan kamu suka bulan.”
“Kok masih inget?”
“Hahaha, iya, nggak sengaja.”
“Ta, pernah terpikirkan kalau aku suka kamu nggak?”
“Hah? Kok tiba-tiba ngomong gitu sih? Nggak lucu tau.”
“Aku lagi nggak ngelucu Tata, aku serius.”
“Nggak, aku nggak pernah mikir kalau kamu suka aku, aku tau selera kamu tinggi banget.”
“Jangan minder gitu dong. Kenyataannya nggak kok.”
“Nggak?? Maksudnya?”
“Yaa, aku suka kamu.”
“Serius?”
“Iyaaaa.”
“Kok bisa?”
“Kamu bintang kan?  Matahari juga bintang, bulan bersinar karena matahari, Lidya itu bumi, aku bisa kelihatan bersinar di depan dia karena kamu. Kamu yang nyinarin aku, dan betapa bodohnya aku, aku nggak tau itu dan baru sadar sekarang.”
Aku terdiam.
“Kok diem sih? Komentar dong, kamu mau jadi pacarku?”
“Kamu itu bulan, meskipun kamu mendapat sinar dari matahari, tapi kamu tetap indah menghiasi langit malam yang kelam, dan aku tetap setia buat nyinarin kamu, meskipun selama ini kamu nggak menyadari itu. Bulan dan bintang itu saling melengkapi, untuk memberi keindahan saat malam. Tanpa aku harus ngasih tahu jawabannya, kamu pasti sudah tahu kan?”
“Jadi?? Iyaa??”
“Hem.”
“Makaaaasih ya. “
“Iyaaa.”
Saat itu juga, bulan dan bintangpun mulai tampak, mereka menyadari bahwa di bumi juga ada bulan dan bintang yang sedang bersatu.
“Lihat, Ta! Ada bulan dan bintang.”
“Ah! Iyaaa.”
Dia menggenggam tanganku dan aku bersandar di pundaknya.
--------------------------------------------------



Tidak ada komentar:

Posting Komentar